Presiden LPKNI dan Pimpinan LPKNI Korwil Jawa Tenggah

Pelatihan Dasar Pengembangan SDM dan Organisasi LPKNI Angkatan Ke XVI Jogyakarta 2012

Pentingnya perlindungan konsumen segala upaya untuk menjamin adanya Kepastian Hukum

Pelatihan Dasar Pengembangan SDM dan Organisasi LPKNI Angkatan Ke XVI Jogyakarta 2012

Pelatihan Dasar Organisasi LPKNI

Pelatihan untuk meningkatkan nilai sadar Masyarakat/Konsumen dibidang Perlindungan Konsumen

Senin, 26 Desember 2011

Perlunya SNI Bagi Konsumen


Standardisasi memberikan kepercayaan bahwa produk yang diproduksi dan diedarkan di pasaran telah memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.disini bisa dikatakan standar berperan penting dalam menimbulkan kepercayaan nasional dan global.pengembangan agroindustri yang mempunyai peluang dan berpotensi adalah agroindustri yang memanfaatkan bahan baku utama produk hasil pertanian dalam negeri, mengandung komponen bahan impor sekecil mungkin, dan produk yang dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar internasional. Agroindustri yang dibangun dengan kandungan impor yang cukup tinggi ternyata merupakan industri yang rapuh karena sangat tergantung dari kuat/lemahnya nilai rupiah terhadap nilai dolar, sehingga ketika dolar menguat industri tidak sanggup membeli bahan baku impor tersebut.
Untuk itu pelaku usaha dalam hal ini untuk memuat isi dari Standar Nasional Indonesia diperlukan kesadaraan untuk menjamin produk yang berada dipasaran menjadi daya saing didalam maupun diluar negeri segai standar untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang dampaknya selain dapat melindungi konsumen SNI juga merupakan tolak ukur kualitas sebuah produk. Dari sisi produsen adanya SNI ( Standar Nasional Indonesia ) juga bisa digunakan untuk mengukur sebagai mana produk mereka yang sudah mereka buat selama ini telah memenuhi standar yang berlaku.Dengan SNI produsen juga bisa membandingkan produk dan kwalitas yang diproduksi dengan kwalitas produk kompetitornya.Dengan diadakannya SNI menjadikan sebuah nilai bagi masyarakat luas untuk mencintai produk -produk dalam negeri.

II.         Keamanan Pangan




Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan.


Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program keamanan pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya penjabaran UU tersebut, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang keamanan pangan serta label dan iklan pangan. Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.

Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara umum adalah: (1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan; (3) Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang diproduksi/diperdagangkannya; dan (4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan pangan.
 
Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% - 10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan bahan pangan adalah sekitar 7,82% - 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan lontong.

Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.

Pestisida, logam berat, hormon, antibiotika dan obat-obatan lainnya yang digunakan dalam kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur, buah-buahan dan beberapa produk pangan hewani. Sedangkan cemaran mikroba umumnya banyak ditemukan pada makanan jajanan, makanan yang dijual di warung-warung di pinggir jalan, makanan katering, bahan pangan hewani (daging, ayam dan ikan) yang dijual di pasar serta makanan tradisional lainnya. Hasil pengujian di 8 Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi menemukan 23,6% contoh makanan positif mengandung bakteri Escheresia coli, yaitu bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi.

Dalam hal pelabelan produk pangan, dari sejumlah contoh label yang diperiksa sebanyak 27,30% - 26,76% tidak memenuhi persyaratan dalam hal kelengkapan dan kebenaran informasi yang tercantum dalam label. Sedangkan dari sejumlah contoh iklan yang diperiksa terutama karena memberikan informasi yang menyesatkan (mengarah ke pengobatan) dan menyimpang dari peraturan periklanan.
Produk pangan kadaluarsa terutama diedarkan untuk bingkisan atau parcel Hari Raya/Tahun Baru. Dari sejumlah sarana penjual parcel yang diperiksa sekitar 33,22%-43,57% sarana menjual produk kadaluarsa.

Peredaran produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi masih banyak pula ditemukan. Dari sejumlah contoh garam beryodium yang diperiksa sekitar sebanyak 63,30%-48,73% contoh tidak memenuhi persyaratan kandungan KlO3.

Produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan masih banyak yang beredar di pasaran. Survei tahun 1998 menemukan sejumlah 69,2% tidak mempunyai nomor ML (izin peredaran dari Departemen Kesehatan) dan 28,1% tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Ditemukan pula sayuran dan buah-buahan impor yang mengandung residu pestisida yang cukup tinggi serta mikroba dalam jumlah dan jenis yang tidak memenuhi persyaratan pada produk pangan hewani.

Jumat, 23 Desember 2011

Undang –undang No.8 Tahun 1999

Perlunya Undang- undang perlindugan konsumen pada saat ini perlu di adakan nya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mulai efektif berlaku pada 20 April 2000.Apabila di cermati muatan materi UUPK cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat difahami mengingat kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acapkali merupakan akibat perilaku pelaku usaha,sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut di kenakan sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi konsumen.Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha pada mulanya berkembang adagium caveat emptor (waspadalah konsumen), kemudian berkembang menjadi caveat venditor (waspadalah pelaku usaha). Ketika strategibisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk (production oriented) Yustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen.maka di sini konsumen harus waspada dalam menkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh produsen Pola konsumsi masyarakat justru banyak ditentukan olehpelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEKdan meningkatnya tingkat pendidikan,meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku dipasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar ( marketoriented ). Padamasa ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang- barang yang kompetitif terutama dari segi mutu,jumlah dan keamanan. 

Jaminan Mutu Barang Di dalam UUPK
antara lain ditegaskan ,pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memper-dagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan dilaksanakan oleh parapelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban maupun larangan tersebut,sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan konsumen.Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam menkonsumsi barang dan jasa terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi. Hasil temuan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (LPKNI) mengenai mutu barang, menunjukkan masih banyak produkyang tidak memenuhi syarat mutu. Manipulasi mutu banyak dijumpai pada produk bahan bangunan seperti seng, kunci dan grendel pintu, triplek, besi beton serta kabel listrik. Selanjutnya transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha cenderung bersifat tidak balance. Konsumen terpaksa menanda tangani perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan oleh pelaku usaha , akibatnya berbagai kasus pembelian mobil, alat-alat elektronik, pembelian rumah secara kredit umumnya menempatkan posisi konsumen di pihak yanglemah . Permasalahan yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya tanggung jawab pengusaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah .Secara normatif pelaku usah bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugiankonsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setaranilainya, atau perawatan kesehatan dan atu pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku( Pasal 19 ayat 1,2 UUPK ). Ketentuan ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian dapat ditegaskan apabila konsumen menderita kerugian sebagai akiba mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara perdata kepada pelaku usaha atas kerugian yang timbul tersebut. Demikian halnya pada transaksi properti, apabila konsumen menderita kerugian sehingga menyebabkant imbulnya kerugian, maka ia berhak untuk menuntut penggantian kerugian tersebut kepada pengembang perumahan yang bersangkutan.
Berita Terkait
Hak dan kewajiban konsumen
Empat hak dasar konsumen
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha



 







PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8 Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a.tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b.tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c.tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d.tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; etidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f.tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g.tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h.tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i.tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j.tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 3Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Pasal 9 1Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a.barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b.barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c.barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; d.barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e.barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f.barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g.barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h.barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i.secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain; j.menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap; k.menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. 2Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. 3Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 10 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a.harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b.kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c.kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e.bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan; a.menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; b.menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; c.tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; d.tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; e.tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f.menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Pasal 12 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pasal 13 1Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. 2Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Pasal 14 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a.tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b.mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c.memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d.mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Pasal 15 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Pasal 16 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a.tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Pasal 17 1Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a.mngelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b.mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c.memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d.tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e.mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f.melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. 2Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

Kamis, 22 Desember 2011

Hutang Kartu Kredit


 Mengais Harapan Pada Kartu Kredit

Setiap hari kita dibombardir oleh laporan media tentang kesengsaraan ekonomi, utang nasional dan pengangguran. Dan krisis benar-benar populer ketika tagihan tiba. Utang, uang, dan pekerjaan merupakan sumber besar dari stres hari ini. Dan sementara masalahnya mungkin penekanan lebih dari itu bisa membunuh Anda.

EFEK OBAT KOMBINASI


EFEK OBAT KOMBINASI
Untuk kesehatan seseorang tidak dapat dikompromikan dianjurkan untuk tidak mencampur obat antara mereka atau dengan zat lainnya, tanpa nasihat medis: alkohol, tembakau, obat-obatan terlarang, obat resep, obat bebas, obat herbal, suplemen gizi. Beberapa interaksi yang kecil, tetapi yang lain dapat berbahaya dan dalam beberapa kasus bahkan mengancam jiwa.

Obat Berbahaya Bagi Konsumen


Obat Berbahaya Bagi Konsumen

Sulit bagi konsumen untuk secara memadai menilai keamanan obat sebelum mengunakan produk didasarkan pada pengetahuan yang terbatas. Sebaliknya, kita bergantung pada orang lain seperti produsen obat, distributor, dokter dan apoteker untuk membantu kita membuat keputusan yang tepat tentang obat farmasi. Sementara banyak obat yang rusak dan sudah tidak layak dikonsumsi.
Sudah menjadi kewajaran jika di setiap rumah tersedia lemari obat yang isinya berupa obat-obatan standar atau self medication drugs, seperti obat