Hubungan
antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Hubungan langsung terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen
langsung terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang.
Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan
tidak langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya
berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena
keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling interdependensi. Hubungan pelaku
usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban.
Ada empat hak dasar konsumen
1. the
right to safe products ;( Hak untuk mendapatkan Produk yang aman )
2. the
right to be informed about products; ( Hak untuk mendapatkan informasi tentang produk
yang digunakan )
3. the
right to definite choices is selecting products ; ( Hak untuk memilih barang
dengan jelas dan terliti )
4. the
right to be heard regarding consumer ; (
Hak untuk didegar sebagai konsumen)
Dalam perkembangannya, oleh organisasi-organisasi
konsumen yang tergabung dalam The International Organizationof Consumers Union (IOCU), empat hak dasar
tersebut ditambah dengan : hak untukmendapatkan pendidikan, hak
untukmendapatkan ganti rugi, dan hak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat.
Didalam Rancangan Akademik Undang-UndangPerlindungan Konsumen yang disusun
UniversitasIndonesia tahun 1992, hak dasarkonsumen tersebut dikembangkan dengan
di tambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikan, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum
Pada prinsipnya ketentuan yang
mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata,
diatur di dalam Pasal 1320KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata.Pasal 1320 KUH
Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu
:
1. Kata
sepakat dari mereka yangmengikatkan dirinya (toestemming vandengenen die zich verbiden
);
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eenverbintenis aan tegaan);
3. Suatu
hal tertentu (een bepaaldonderwerp); dan
4. Suatu
sebab yang halal (een geloofdeoorzaak).
Sedangkan Pasal 1365 KUH Perdatamengatur
syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hokum yang
menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut.Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk
syarat’kesepakatan’ perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara
pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak balance .Banyak konsumen
ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah.Suatu kesepakatan
menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan,atau penipuan.
Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk
berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa
yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat
sebagaimana dijelaskan padaYustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata
tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan
mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut.
Ketika
Konsumen Di hadapkan Dengan Perjanjian Baku
Pada umumnya jual beli properti antara pelaku
usaha (pengembang perumahan) dengan konsumen, didasarkan pada perjanjian yang
telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian
baku/standar).Perjanjian tersebut mengandung ketentuanyang berlaku umum
(massal) dan konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolak.
Kekhawatiran yang muncul berkaitan dengan perjanjian baku dalam jual beli
properti adalah karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exception clause).
Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung
kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya
dibebankan kepada pelaku usaha.
Di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK diatur mengenai
larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila
menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha.
Masalah tanggung jawab hokum perdata
(civielrechtelijke aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365
KUHPerdata yang mengatur adanya pertanggung jawaban pribadi si pelaku atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ). Di
sampingitu, undang-undang mengenal pulapertanggung jawaban oleh bukan si pelaku
perbuatan melawan hukum sebagaimana
diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang
tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya
sendiri , tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungan-nya, disebabkan oleh barang - barang yang berada di
bawah pengawasannya.
Dari pasal ini nampak adanya pertanggung jawaban
seseorang dalam kualitas tertentu (kwalitatieve aansprakelijkheid)
Pada asasnya kewajiban untuk memberikan ganti
rugi hanya timbul bilamana ada unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan melawan
hukum dan per-buatan tersebut dapat di pertanggung jawabkan kepadanya. Jadi
harus ada unsur kesalahan pada si pelaku dan perbuatan itu harus dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya
(schuldaansprakelijkheid). Dari segi hukum perdata,tanggung jawab hukum
tersebut dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad), dan dapat juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan
cacat badan (het veroozakenvan lichamelijke letsel ).
Di samping itu, di dalam UUPK juga telah diatur
mengenai tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam Pasal
19.Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan ,pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan
atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif
telah ada ketentuan yang mengatur
tanggung jawab pelaku usaha,sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
Secara teoritik, di dalam
Undang-UndangPerlindungan Konsumen (UUPK) diaturbeberapa macam tanggung jawab (
liability )
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity
of contract) antara pelakuusaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka
tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability (Pertanggungjawaban
Kontraktual),yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari
pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang
dihasil-kannya atau memanfaatkan jasa yang diberi-kannya. Selain berlaku UUPK,
khususnya ketentuan tentang pencantuman klausula baku sebagaimanaiatur dalam
Pasal 18 UUPK.
0 komentar:
Posting Komentar