Presiden LPKNI dan Pimpinan LPKNI Korwil Jawa Tenggah

Pelatihan Dasar Pengembangan SDM dan Organisasi LPKNI Angkatan Ke XVI Jogyakarta 2012

Pentingnya perlindungan konsumen segala upaya untuk menjamin adanya Kepastian Hukum

Pelatihan Dasar Pengembangan SDM dan Organisasi LPKNI Angkatan Ke XVI Jogyakarta 2012

Pelatihan Dasar Organisasi LPKNI

Pelatihan untuk meningkatkan nilai sadar Masyarakat/Konsumen dibidang Perlindungan Konsumen

Senin, 19 Maret 2012

Perlindungan Hukum bagi Konsumen


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH SEBAGAI KONSUMEN JASA PERBANKAN

Oleh: LPKNI Kota Malang
A. PENDAHULUAN

Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Hal ini membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundang-undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen.

Rasio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.
[1]    UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945.
[2]    Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu:
Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito.
Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, pembiayaan kendaraan bermotor (finance) dan sebagainya.
Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C).
[3]    Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai klausula baku. Sedangkan dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen antara lain adalah dengan diintrodusirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Berdasarkan pada hal-hal dimaksud, maka Penulis tertarik untuk mengangkat tema perlindungan konsumen di bidang perbankan ke dalam karya tulis ini. Untuk itu judul yang penulis angkat adalah Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Sebagai Konsumen Jasa Perbankan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, masalah teridentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.      Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2.      Bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan?

C. ANALISISI DAN PEMBAHASAN

1.      Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

UUPK bukan satu-satunya yang mengatur perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelumnya telah ada peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202-205 KUHP, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum (umbrella act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen.

Perlindungan hukum bagi nasabah menjadi urgen, karena secara faktual kedudukannya relatif lemah. Perjanjian kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dipersiapkan oleh pihak bank. Nasabah hanya mempunyai pilihan menerima atau menolak perjanjian yang dimaksud.

Keberatan terhadap perjanjian standar yaitu:

(1)    Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak,
(2)    Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya,
(3)    Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat,
(4)    Ada unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi efisiensi.
(5)    Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing.
(6)    Untuk itu dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah perlu adanya upaya edukasi dan penjelasan mengenai isi perjanjian dimaksud.
(7)    Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi UUPK memberikan pengaturan mengenai klausula baku, yaitu sebagai berikut:


1.      Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c.   menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f.   memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.


2.      Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3.      Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.

4.      Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UUPK, tetapi pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan nasabah. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain sebagai berikut:

1)      Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian.

2)      Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit/pembiayaan.

3)      Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.

4)      Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian.

Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, kaitannya dengan perjanjian standar diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.

2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Perbankan

Sebagaimana disebut di atas bahwa peraturan hukum yang memberikan perlindungan bagi nasabah tidak hanya UUPK, akan tetapi lebih spesifik lagi pada peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha dengan menarik dana langsung dari masyarakat sehingga perlu melaksanakan prinsip kepercayaan (fiduciary principle).

Kepercayaan merupakan inti perbankan sehingga bank harus menjaganya. Hukum sebagai alat rekayasa sosial terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.

Pertama, untuk memberikan perlindungan hukum bagi nasabah deposan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang bersangkutan.

Amanat dimaksud telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Fungsinya adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Kedua, perlindungan hukum bagi nasabah, khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal ini diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008[12] dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008.

Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005, mendefinisikan Pengaduan sebagai ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Sesuai dengan Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005, bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.

Ketentuan mengenai kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005, yaitu sebagai berikut:

a)    Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan mencakup kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi Nasabah Bank tersebut.

b)    Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk mengajukan pengaduan.

c)    Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah.

Mengingat penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan apabila tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan.

Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
Adapun yang menjadi penyelenggara Mediasi Perbankan menurut Pasal 3 PBI No. 8/5/PBI/2006, yakni Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk asosiasi perbankan. Proses beracara dalam Mediasi Perbankan secara teknis diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:

a)    Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.

b)    Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.

Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan, yaitu sebagai berikut:

a)    Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;

b)    Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank;

c)    Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;

d)    Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;

e)    Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia; dan

f)     Pengajuan penyelesaian Sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Bank kepada Nasabah.

Proses Mediasi dilaksanakan setelah Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank menandatangani perjanjian Mediasi (agreement to mediate) yang memuat:

a)    Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian Sengketa; dan

b)    Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan Mediasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Jika proses mediasi telah selesai dilaksanakan, maka pihak bank wajib mengikuti dan mentaati perjanjian Mediasi yang telah ditandatangani oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan Bank.

D. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1)    Perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari UUPK terletak pada adanya kewajiban bagi bank untuk mengindahkan tata cara pembuatan klausula baku.
2)    Perlindungan hukum bagi nasabah ditinjau dari peraturan perundang-undangan perbankan, yakni adanya kewajiban bank menjadi anggota LPS sehingga dapat memberi perlindungan bagi nasabah deposan terhadap simpanannya dan adanya hak nasabah melakukan pengaduan nasabah, serta menggunakan forum mediasi perbankan untuk penyelesaian sengketa secara sederhana, murah, dan cepat.

2. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan Penulis menyarankan bahwa untuk mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah dapat ditempuh langkah-langkah antara lain:

(1) Pihak perbankan dengan bekerjasama dengan lembaga konsumen secara bersama-sama dapat merumuskan klausula yang memenuhi kebutuhan para pihak dan tidak melanggar unsur kepatutan;
(2) Adanya hak nasabah mengajukan segala hal yang merugikannya kepada Lembaga Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, maka pihak bank perlu memberikan penjelasan mengenai hak-hak nasabah dan jika perlu mencantumkan agreement to mediate dalam perjanjian kredit/pembiayaan, serta rekening simpanan nasabah deposan.


DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, Johannes, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Bandung: PT. Revika Aditama.

Nasution, Az., 2003, “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen: Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42”, Artikel pada Teropong, Media Hukum dan Keadilan (Vol II, No. 8, Mei 2003), MaPPI-FH UI dan Kemitraan.

Rajagukguk, Erman, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: CV. Mandar Maju.

Shofie, Yusuf, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Untung H. Budi, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan

Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/24/DPNP tertanggal 18 Juli 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan.

Peringatan tentang kemasan makanan dari plastik Polivinil Klorida (PVC)


PERINGATAN PUBLIK / PUBLIC WARNING
TENTANG
KEMASAN MAKANAN DARI PLASTIK POLIVINIL KLORIDA (PVC)
Nomor: KH.00.02.1.55.2891
Tanggal 14 Juli 2009

Menindaklanjuti hasil pengawasan kemasan makanan yang terbuat dari plastik polivinil klorida (PVC), Badan POM RI perlu memberikan penjelasan sebagai berikut:
1.          PVC dibuat dari monomer vinil klorida (VCM). Monomer vinil klorida yang tidak ikut bereaksi dapat terlepas ke dalam makanan terutama yang berminyak/berlemak atau mengandung alkohol terlebih dalam keadaan panas. 
2.          Dalam pembuatan PVC ditambahkan penstabil seperti senyawa timbal (Pb), kadmium (Cd), timah putih (Sn) atau lainnya, untuk mencegah kerusakan PVC. Kadang-kadang agar lentur atau fleksibel ditambahkan senyawa ester ftalat, ester adipat, dll.  
3.          Residu VCM, Pb, Cd dan ester ftalat berbahaya bagi kesehatan. 
•  VCM terbukti mengakibatkan kanker hati. 
•  senyawa Pb merupakan racun bagi ginjal dan syaraf.
•  senyawa Cd merupakan racun bagi ginjal, dan dapat mengakibatkan kanker paru.
•  senyawa ester ftalat dapat menganggu sistem endokrin. 
4.          Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI telah melakukan sampling dan pengujian laboratorium terhadap 11 jenis kemasan makanan dari plastik PVC, dan hasilnya 1 jenis tidak memenuhi syarat (terlampir). 
5.           Untuk kehati-hatian, masyarakat dihimbau untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.              Umumnya kemasan makanan PVC dapat dikenali dari logo    
b.              Jangan menggunakan kemasan makanan dengan PVC untuk makanan yang berminyak/berlemak atau mengandung alkohol terlebih dalam keadaan panas.
6.          Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dapat menghubungi
Unit Layanan Pengaduan Konsumen Badan POM RI dengan nomor telepon 021-4263333 dan 021-32199000 atau e-mail  ulpk@pom.go.id dan ulpkbadanpom@yahoo.com atau melihat di website Badan POM, www.pom.go.id 
7.          Demikian keterangan ini  disampaikan untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk kemasan makanan bagi kesehatan. 

Peringatan bahaya plastik "kresek"


PERINGATAN PUBLIK / PUBLIC WARNING
TENTANG
KANTONG PLASTIK “KRESEK”
Nomor: KH.00.02.1.55.2890
Tanggal : 14 Juli 2009


Menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap kantong plastik kresek, Badan POM RI perlu mengeluarkan peringatan kepada publik sebagai berikut:

1.        Kantong plastik kresek berwarna  terutama hitam kebanyakan merupakan produk daur ulang yang sering digunakan untuk mewadahi makanan. 

2.        Dalam proses daur ulang tersebut riwayat penggunaan sebelumnya tidak diketahui, apakah bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit, kotoran hewan atau manusia, limbah logam berat,  dll. Dalam proses tersebut juga ditambahkan berbagai bahan kimia yang menambah dampak bahayanya bagi kesehatan.

3.        Jangan menggunakan kantong plastik  kresek daur ulang tersebut untuk mewadahi langsung makanan siap santap.

4.        Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dapat menghubungi Unit Layanan Pengaduan Konsumen Badan POM RI dengan nomor telepon 021-4263333 dan 021-32199000 atau e-mail ulpk@pom.go.id dan  ulpkbadanpom@yahoo.com atau melihat di website Badan POM, www.pom.go.id

5.        Demikian peringatan ini disampaikan untuk disebarluaskan.  
             

Peringatan Tentang Obat tradisional Yang Mengandung Bahan Kimia


PUBLIC WARNING / PERINGATAN
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
OBAT TRADISIONAL MENGANDUNG BAHAN KIMIA OBAT
Nomor    : HM.03.03.1.43.08.10.8013
Jakarta, 13 Agustus 2010


1.        Badan POM RI senantiasa melakukan pengawasan Obat Tradisional secara komprehensif, termasuk terhadap kemungkinan dicampurnya dengan Bahan Kimia Obat (OT-BKO). 
2.        Analisis Risiko terhadap temuan  hasil pengawasan OT-BKO oleh Badan POM RI dalam kurun waktu 10 tahun menunjukkan kecenderungan sebagai berikut:
2.1.       Pada awalnya (2001-2007)  temuan OT-BKO menunjukkan  trend ke arah obat rematik dan penghilang rasa sakit misalnya mengandung Fenilbutason dan Metampiron
2.2.       Sejak tahun 2007 temuan OT-BKO menunjukkan perubahan  trend ke arah obat pelangsing dan stamina, antara lain mengandung Sibutramin, Sildenafil, dan Tadalafil.
2.3.       Sebagian besar hasil temuan pengawasan tersebut merupakan produk ilegal atau tidak terdaftar di  Badan POM RI, tetapi mencantumkan nomor pendaftaran fiktif pada labelnya.
3.        Berdasarkan analisis risiko  temuan pengawasan OT-BKO tersebut, pengawasan obat  tradisional yang beredar pada semester pertama tahun 2010 masih ditemukan obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat (BKO) yang dilarang dicampurkan ke  dalam obat tradisional sebagaimana terlampir.
4.        Kepada masyarakat diserukan agar berhati-hati dan waspada serta tidak mengkonsumsi  obat tradisional sebagaimana tercantum dalam lampiran public warning/peringatan ini karena dapat menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan  bahkan dapat berakibat fatal.
5.        Kepada Balai Besar POM dan Balai  POM di seluruh Indonesia telah diperintahkan untuk melakukan penarikan dan pemusnahan obat tradisional sebagaimana tercantum dalam lampiran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.        Kepada masyarakat dihimbau untuk  membantu memberikan informasi bila menemukan produk tersebut dengan menghubungi Unit Layanan Pengaduan Konsumen Badan POM RI di Jakarta, di nomor telepon : 021-4263333 dan 021-32199000 atau email ulpk@pom.go.id atau website BPOM RI www.pom.go.id, Layanan Informasi Konsumen di Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia.
           Demikian peringatan ini disampaikan untuk diketahui dan disebarluaskan.


BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
KEPALA,
Dra. Kustantinah, Apt, M.App.Sc.
NIP. 19511227 198003 2 001

Peringatan Tentang peralatan Makan "MELAMIN"


PERINGATAN/PUBLIC WARNING
TENTANG
PERALATAN MAKAN “MELAMIN”
NOMOR: KH.00.01.1.23.2258
TANGGAL 1 JUNI 2009

Berdasarkan hasil pengawasan terhadap peralatan makan ”Melamin”, Badan POM RI perlu mengeluarkan peringatan (Public Warning) sebagai berikut:

1.  Bahwa  Badan  POM  RI  telah  melakukan  pengujian  laboratorium  terhadap 62 sampel peralatan makan ”Melamin”. Dari hasil pengujian tersebut ditemukan 30 positif melepaskan formalin.   
2. Bahwa 30 jenis peralatan makan “Melamin” yang melepaskan formalin (terlampir) berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan bila digunakan untuk mewadahi  makanan yang berair atau berasa asam, terlebih dalam keadaan panas.  
3. Bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi lebih lanjut dapat menghubungi Unit Layanan Pengaduan Konsumen  Badan POM RI dengan nomor telepon 021-4263333 dan 021-32199000 atau email  ulpk@pom.go.id  dan  ulpkbadanpom@yahoo.com, atau melihat di website Badan POM, www.pom.go.id.
 Demikian peringatan ini disampaikan untuk disebarluaskan.

Contoh Peralatan Makan Yang dilarang Beredar ( Mengandung Formalin )


 diambil Dari website Badan POM, www.pom.go.id.
 Diposkan oleh Dholin Efendi LPKNI Kota Malang
 

Selasa, 14 Februari 2012

PROSEDUR LELANG

Pengertian lelang menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Lelang/Vendureglement atau yang disingkat dengan VR Stb. 1908 No. 189 adalah Penjualan Umum atau Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha mengumpulkan peminat/peserta lelang dan Pasal 1 a menentukan Penjualan Umum atau Lelang harus dilakukan oleh atau dihadapan seorang Pejabat Lelang. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Dari kedua pengertian lelang tersebut di atas, terdapat beberapa unsur dalam lelang : 1. Penjualan barang kepada umum yang dilakukan di muka umum; 2. Di dahului dengan pengumuman lelang/mengumpulkan peminat/peserta lelang; 3. Dilaksanakan oleh dan atau dihadapan Pejabat Lelang dan olehnya dibuatkan Risalah Lelang; 4. Dilakukan dengan penawaran atau pembentukan harga yang khas dan bersifat kompetitif. Sebagai suatu institusi pasar, penjualan secara lelang mempunyai kelebihan/keunggulan karena penjualan secara lelang bersifat Built In Control, Obyektif, Kompetitif, dan Otentik. a. Objektif, karena lelang dilaksanakan secara terbuka dan tidak ada prioritas di antara pembeli lelang atau pemohon lelang. Artinya, kepada mereka diberikan hak dan kewajiban yang sama. b. Kompetitif, karena lelang pada dasarnya menciptakan suatu mekanisme penawaran dengan persaingan yang bebas di antara para penawar tanpa ada tekanan dari orang lain sehingga akan tercapai suatu harga yang wajar dan memadai sesuai dengan yang dikehendaki pihak penjual. c. Build in control, karena lelang harus diumumkan terlebih dahulu dan dilaksanakan di depan umum. Berarti, pelaksanaan lelang dilakukan di bawah pengawasan umum, bahkan semenjak lelang diumumkan apabila ada pihak yang keberatan sudah dapat mengajukan verzet. Hal ini dilakukan supaya dapat menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan. d. Otentik, karena pelaksanaan lelang akan menghasilkan Risalah Lelang yang merupakan akta otentik yang dapat digunakan oleh pihak penjual sebagai bukti telah dilaksanakannya penjualan sesuai prosedur lelang, sedangkan bagi pembeli sebagai bukti pembelian yang digunakan untuk balik nama. Dengan sifat yang unggul tersebut maka lelang akan menjamin kepastian hukum, dilaksanakan dengan cepat, mewujudkan harga yang optimal sekaligus wajar, dan efisien. Lelang sendiri memiliki dua fungsi, yaitu: 1. Fungsi privat, terletak pada hakekat lelang dilihat dari tujuan perdagangan. Di dunia perdagangan, lelang merupakan sarana untuk mengadakan perjanjian jual beli. Berdasarkan fungsi privat ini timbul pelayanan lelang yang dikenal dengan lelang sukarela. 2. Fungsi publik, ini tercermin dari tiga hal: a. mengamankan aset yang dimiliki atau dikuasai negara untuk meningkatkan efisiensi dan tertib administrasi pengelolaan aset negara; b. mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk bea lelang; c. pelayanan penjualan barang yang mencerminkan wujud keadilan sebagai bagian dari sistem hukum acara di samping eksekusi PUPN, Pajak, dan Perum Pegadaian. Pelayanan lelang merupakan penjualan dalam rangka mengamankan aset negara seperti lelang barang-barang inventaris milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Non Persero maupun yang bersifat eksekusi baik di bidang pidana, perdata maupun perpajakan Di bidang pidana misalnya ada lelang barang rampasan kejaksaan, sitaan kepolisian dan lelang sitaan KPK sedangkan di bidang perdata seperti lelang eksekusi Pengadilan Negeri, lelang berdasar Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) dan lelang sitaan Panitia Urusan Piutang Negara, di bidang perpajakan adalah lelang sitaan pajak
KETERANGAN
1.PERMOHONAN LELANG DARI PEMILIK BARANG / PENJUAL 
2.PENETAPAN TANGGAL/HARI DAN JAM LELANG 
3.PENGUMUMAN LELANG PADA SURAT KABAR HARIAN
4.PESERTA LELANG MEYETORKAN UANG JAMINAN KE REKENING KPKNL
5.PELAKSANA LELANG OLEH PEJABAT LELANG DARI KPKNL 
6.PESERTA LELANG MEBAYAR HARGA LELANG KEPADA KPKNL 
7.BEA LELANG DISETORKAN KE KAS NEGARA OLEH KPKNL 
8.HASIL BERSIH LELANG DISETOR KEPEMOHON LELANG / PEMILIK BARANG.DALAM HAL PEMOHON LELANG /PEMILIK BARANG ADALAH INSTANSI PEMERINTAH MAKA HASIL LELANG DISETORKAN KE KAS NEGARA
9.KPKNL MEYERAHKAN DOKUMEN DAN PETIKAN RISALAH LELANG SEBAGAI BUKTI UNTUK BALIK NAMA DAN SEBAGAINYA 
Berdasar PMK Nomor 93/PMK.06/2010 lelang dibedakan menjadi dua macam, yaitu Lelang Eksekusi dan Lelang Noneksekusi. Lelang eksekusi, terdiri atas: 1. Lelang Sitaan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Lelang yang dilaksanakan terhadap barang-barang sitaan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang merupakan jaminan hutang di bank-bank pemerintah. 2. Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri Lelang untuk melaksanakan putusan hakim Pengadilan Negeri dalam perkara perdata, termasuk lelang Undang-Undang Hak Tanggungan. 3. Lelang Eksekusi Pajak Lelang yang dilakukan terhadap barang-barang wajib pajak yang telah disita untuk membayar hutang pajak kepada negara. 4. Lelang Harta Pailit Lelang barang-barang atau harta kekayaan seseorang yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri. 5. Lelang berdasar Pasal 6 UUHT Lelang barang-barang atau harta kekayaan debitur yang telah diserahkan kepada kreditur yang diikat dengan Hak Tanggungan karena debitur dipandang cidera janji (wanprestasi). 6. Lelang Barang-barang yang Tidak Dikuasai / Dikuasai Negara (DJBC) Lelang barang-barang yang oleh pemiliknya atau kuasanya tidak diselesaikan administrasi pabeannya. 7. Lelang Barang Sitaan Berdasarkan Pasal 45 KUHAP Lelang barang yang disita sebagai barang bukti dalam perkara pidana. 8. Lelang Rampasan Lelang barang bukti yang dinyatakan dirampas untuk negara berdasarkan putusan Pengadilan Negeri, misalnya alat yang dipakai untuk melakukakan kejahatan, barang selundupan. 9. Lelang Barang Temuan Lelang barang-barang hasil temuan yang diduga berasal dari tindak pidana, dan setelah diumumkan dalam waktu yang ditentukan tidak ada pemiliknya. 10. Lelang Fiducia Lelang barang yang telah diikat dengan fiducia karena debitur dipandang cidera janji (wanprestasi). 11. Lelang Eksekusi Gadai 12. Lelang Eksekusi Benda Sitaan Berdasar Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Lelang Noneksekusi meliputi : 1. Lelang Noneksekusi Wajib Barang Milik Negara/Daerah Lelang barang-barang inventaris semua instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. 2. Lelang Noneksekusi Wajib barang Dimiliki Negara Direktorat Jenderal Bea Cukai (Bukan penghapusan inventaris) 3. Lelang Noneksekusi Wajib Barang Milik BUMN/BUMD Nonpersero 4. Lelang Noneksekusi Wajib Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Dari Tangan Pertama. Lelang kayu milik PT. Perhutani yang telah terjadwal setiap bulannya.

Hak dan Kewajiban Konsumen


Hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.
Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia menyebutkan bahwa ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya, yakni:
  1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kita lahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. Hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib menjamin pemenuhannya.
  2. Hak yang lahir dari hukum, Yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum. Contohnya hak untuk memberi suara dalam Pemilu.
  3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini didasarkan pada perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Contohnya pada peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerima barang. Sedangkan hak penjual adalah menerima uang.
Adapun hak konsumen diatur didalam Pasal 4 UU PK, yakni:
  1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Tujuan utama konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa adalah memperoleh manfaat dari barang/jasa yang dikonsumsinya tersebut. Perolehan manfaat tersebut tidak boleh mengancam keselamatan, jiwa dan harta benda konsumen, serta harus menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
  2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Tentu saja konsumen tidak mau mengkonsumsi barang/jasa yang dapat mengancam keselamatan, jiwa dan hartanya. Untuk itu konsumen harus diberi bebas dalam memilih barang/jasa yang akan dikonsumsinya. Kebebasan memilih ini berarti tidak ada unsur paksaan atau tipu daya dari pelaku usaha agar konsumen memilih barang/jasanya.
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sebelum memilih, konsumen tentu harus memperoleh informasi yang benar mengenai barang/jasa yang akan dikonsumsinya. Karena informasi inilah yang akan menjadi landasan bagi konsumen dalam memilih. Untuk itu sangat diharapkan agar pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang/jasanya.
  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Tidak jarang konsumen memperoleh kerugian dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa. Ini berarti ada suatu kelemahan di barang/jasa yang diproduksi/disediakan oleh pelaku usaha. Sangat diharapkan agar pelaku usaha berlapang dada dalam menerima setiap pendapat dan keluhan dari konsumen. Di sisi yang lain pelaku usaha juga diuntungkan karena dengan adanya berbagai pendapat dan keluhan, pelaku usaha memperoleh masukan untuk meningkatkan daya saingnya.

Empat Hak Dasar konsumen




Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang. Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan tidak langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling interdependensi. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban.
 Ada empat hak dasar konsumen
1.      the right to safe products ;( Hak untuk mendapatkan Produk yang aman )
2.      the right to be informed about products; ( Hak untuk mendapatkan informasi tentang produk yang digunakan )
3.      the right to definite choices is selecting products ; ( Hak untuk memilih barang dengan  jelas dan terliti )
4.      the right to be heard regarding consumer ;  ( Hak untuk didegar sebagai konsumen)
Dalam perkembangannya, oleh organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organizationof     Consumers Union (IOCU), empat hak dasar tersebut ditambah dengan : hak untukmendapatkan pendidikan, hak untukmendapatkan ganti rugi, dan hak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat. Didalam Rancangan Akademik Undang-UndangPerlindungan Konsumen yang disusun UniversitasIndonesia tahun 1992, hak dasarkonsumen tersebut dikembangkan dengan di tambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum
Pada prinsipnya ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum        perdata, diatur di dalam Pasal 1320KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata.Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu :
1.   Kata sepakat dari mereka yangmengikatkan dirinya (toestemming  vandengenen die  zich    verbiden );
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eenverbintenis aan  tegaan);
3.   Suatu hal tertentu (een bepaaldonderwerp); dan
4.   Suatu sebab yang halal (een geloofdeoorzaak).
Sedangkan Pasal 1365 KUH Perdatamengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat perbuatan melanggar hokum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.Dari sisi kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat’kesepakatan’ perlu mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen yang cenderung tidak balance .Banyak konsumen ketika melakukan transaksi berada pada posisi yang lemah.Suatu kesepakatan menjadi tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan,atau penipuan. Selanjutnya untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana dijelaskan padaYustisia Edisi Nomor 68 Mei - Agustus 2006 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut tidak dipenuhi, maka berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.
Ketika Konsumen Di hadapkan Dengan Perjanjian Baku
Pada umumnya jual beli properti antara pelaku usaha (pengembang perumahan) dengan konsumen, didasarkan pada perjanjian yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha (perjanjian baku/standar).Perjanjian tersebut mengandung ketentuanyang berlaku umum (massal) dan konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolak. Kekhawatiran yang muncul berkaitan dengan perjanjian baku dalam jual beli properti adalah karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exception clause).
Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada pelaku usaha.
Di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK diatur mengenai larangan pencantuman klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha.
Masalah tanggung jawab hokum perdata (civielrechtelijke aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur adanya pertanggung jawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ). Di sampingitu, undang-undang mengenal pulapertanggung jawaban oleh bukan si pelaku perbuatan melawan hukum  sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri , tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungan-nya, disebabkan oleh barang - barang yang berada di bawah pengawasannya.
Dari pasal ini nampak adanya pertanggung jawaban seseorang dalam kualitas tertentu (kwalitatieve aansprakelijkheid)
Pada asasnya kewajiban untuk memberikan ganti rugi hanya timbul bilamana ada unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan melawan hukum dan per-buatan tersebut dapat di pertanggung jawabkan kepadanya. Jadi harus ada unsur kesalahan pada si pelaku dan perbuatan itu harus dapat dipertanggung  jawabkan kepadanya (schuldaansprakelijkheid). Dari segi hukum perdata,tanggung jawab hukum tersebut dapat ditimbulkan karena wanprestasi, perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad), dan dapat juga karena kurang hati-hatinya mengakibatkan cacat badan (het veroozakenvan lichamelijke letsel ).
Di samping itu, di dalam UUPK juga telah diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19.Menurut pasal ini pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan ,pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif  telah ada ketentuan yang mengatur tanggung jawab pelaku usaha,sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
Secara teoritik, di dalam Undang-UndangPerlindungan Konsumen (UUPK) diaturbeberapa macam tanggung jawab ( liability )
Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelakuusaha (barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability (Pertanggungjawaban Kontraktual),yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasil-kannya atau memanfaatkan jasa yang diberi-kannya. Selain berlaku UUPK, khususnya ketentuan tentang pencantuman klausula baku sebagaimanaiatur dalam Pasal 18 UUPK.

JAMINAN FIDUSIA



 Beberapa orang memiliki kendaraan atau barang-barang lainnya yang diperoleh dengan cara kredit itu wajar. Namun ketika tidak bisa membayar angsurannya maka tiba-tiba datang Dept Collector yang kemudian memaksa mengambil barang yang dijadikan jaminan itu. Dalam hal ini perlu ditinjau apakah jaminan FIDUSIA nya sudah didatarkan ke DEPKUMHAM melalui Notaris atau belum. Jika tidak ada Sertifikat Jaminan FIDUSIA dari DEPKUMHAM maka penyitaan barang jaminan itu batal demi hukum dan malah pihak yang menyita bisa kena pasal pidana perampasan harta milik orang lain
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang  berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasaIndonesia. Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan.
Fidusia lahir biasanya karena terjadi perjanjian utang piutang dengan jaminan barang misalnya kredit sepeda motor atau mobil lewat lembaga finance / lising maka debitor menjaminkan sepeda motor atau mobilnya sampai hutangnya selesai.
Apabila terjadi hutang macet maka pihak kreditor akan menarik kendaraan yang dijaminkan itu untuk keperluasan pelunasan hutangnya. Namun apa yang biasa terjadi, konsumen dirugikan karena terkadang fidusia tidak didaftarkan di Departemen Kumham namun petugas dari kreditor langsung saja menyita kendaraan yang dijaminkan. Dalam hal ini dapat muncul kasus baru yaitu perampasan kendaraan. Pada umumnya konsumen takut dan kemudian merelakan kendaraannya diambil. Sedangkan apabila fidusia tidak didaftarkan ke DEPKUMHAM lewat Notaris maka fidusia itu batal demi hukum berdasarkan UU No.42 Tahun 1999
Jadi lahirnya UU tentang fidusia merupakan salah satu dari perlindungan konsumen. Menyita barang jaminan tidak serta merta atas perjanjian utang piutang sebagai klausulabakutetapi ada prosedur yang harus ditempuh, yaitu perjanjian itu itu harus di notariatkan kemudian notaris mendaftarkan ke DEPKUMHAM, maka lahirlah Sertifikat Jaminan Fidusia. Tanpa dilakukan hal tersebut maka fidusia batal demi hukum.

Klausula Baku


Sebagai konsumen kita sering dihadapkan dengan peraturan yang mengharuskan untuk memenuhi persyaratan saat kita ingin membeli barang atau jasa yang kesemuanya bertujuan untuk memudahkan dalam membeli barang tersebut.Dan banyak diantara konsumen tidak pernah membaca peraturan tersebut/persyaratan yang ditentukan pihak kreditur /pelaku usaha untuk itu perlu diadakan nya peraturan untuk standarisasi peraturan tersebut disebut juga Klausula Baku.
Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Lazimnya klausula baku dicantumkan dalam huruf kecil pada kuitansi, faktur/bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli.
Selanjutnya hal yang  Menyimpang dari ketentuan lainnya dari perjanjian, kontrak, atau perubahan  para pihak setuju untuk terikat oleh klausul tersebut yang dengan ini dijadikan bagian dari Perjanjian .Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya..
Klausula Baku yang Dilarang
Ada delapan jenis klausula baku yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen. Artinya, klausula baku selain itu sah dan mengikat secara hukum.
Klausula baku dilarang mengadung unsur-unsur atau pernyataan:
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsumen
2. Hak pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen
3. Hak pengusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen
6. Hak pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan yang dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8. Pemberian kuasa kepada pengusaha untuk pembebanan, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran

Selain itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tak dapat jelas dibaca, atau yang maksudnya sulit dimengerti.
Jika Perjanjian ini dicantumkan dalam kontrak dengan klausul seperti itu, maka klausula itu  Artinya batal demi hukum, klausula itu dianggap tidak pernah ada.

Kamis, 09 Februari 2012

PROSES BERACARA DIDEPAN PERSIDANGAN



PROSEDUR DAN PROSES BERACARA DIDEPAN PERSIDANGAN
1 . SURAT KUASA.
KUASA UMUM.
Secara umum surat kuasa diatur dalam bab ke enambelas, buku III KUH Perdata dan secara khusus diatur dalam hukum acara perdata HIR dan RBG. Pemberian kuasa merupakan perjanjian sebagaimana secara jelas daitur dalam pasal 1792 KUH Perdata yang berbunyi : Pemberian kuasa adalah suatu perstujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Dari pengertian pemeberian kuasa dalam pasal 1792 KUHPerdata tersebut dalam perjanjian pemberian kuasa terdapat dua pihak yaitu :
·        Pemberi kuasa (lastgever).
·         Penerima kuasa, yang diberi perintah atau mandat untuk melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan kewenangan yang diberikan dalam surat kuasa.
Penerima kuasa berkuasa penuh bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Pemberi kuasa bertanggungjawab atas segala perbuatan penerima kuasa sepanjang perbuatan yang dilakukan tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.
Secara umum pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa tidak bersifat imperative, apabila pemberi dan penerima kuasa menghendaki dapat disepakati hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang, hal ini berkaitan dengan hukum perjanjian hanya bersifat mengatur apapun yang disepakati kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar norma-norma yang bersipat larangan.
Pemberian kuasa kepada penerima kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu bentuk akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Namun dalam perkembangan dinamika masyarakat yang demikian cepat untuk mengantisipasi segala kemungkinan adanya sengketa dikemudian hari untuk keperluan pembuktian didepan persidangan,pemberian kuasa dilakukan  dengan akta umum atau akta autentik atau setidak tidaknya dengan akta dibawah tangan, dan pemberian kuasa secara lisan hampir tidak pernah dilakukan kecuali untuk hal-hal yang bersifat sederhana. Pemberian kuasa juga bisa berlangsung secara diam-diam disimpulkan dari pelaksanaan kuasa tersebut oleh sipenerima kuasa tersebut. Surat kuasa umum tidak dapat digunakan untuk beracara didepan persidangan guna memperjuangkan kepentingan para pihak yang bersengketa;
Pemberian kuasa kepada penerima kuasa dapat berakhir secara sepihak yaitu: ditarik kembali oleh pemberi kuasa ,penerima kuasa melepas kuasanya ,salah satu pihak meninggal dunia,salah satu pihak mengalami pailit.
1.            KUASA KHUSUS.
Untuk beracara didepan pengadilan, penggugat maupun tergugat wajib hadir sendiri  dipersidangan, namun demikian jika para pihak penggugat dan tergugat karena alasan agar tuntutan dalil gugatan dan bantahan dari masing-masing pihak dapat dimaksimalkan dalam proses pembuktian, diperkenankan menunjuk dan memberikan surat kuasa khusus kepada seorang advokat untuk hadir mewakilinya dipersidangan. Surat kuasa tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 123 HIR/147 R.Bg ayat 3 telah ditentukan secara limitative bahwa kuasa boleh dengan  suatu akta notaris berarti dengan suatu akta autentik, dengan akta yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri yang dalam wilayah hukumnya orang yang memberikan kuasa itu bertempat tinggal atau sebenarnya berdiam, boleh juga dengan akta dibawah tangan yang dilegalisir serta didaftar menurut ordonansi dalam Stbl 1916 No.46.
Ketentuan pasal 123 HIR/147 R.Bg tersebut sangat pleksibel dan memudahkan  didalam praktek peradilan berkaitan dengan luasnya cakupan wilayah Pengadilan, persebaran jumlah penduduk sampai kepelosok dengan infrastruktur yang terbatas akan sangat menyulitkan bagi para pihak apabila diwajibkan dalam pemberian kuasa khusus dengan akta autentik. Tidak disetiap wilayah kompetensi Pengadilan Negeri ada Notaris dan juga belum semua wilayah hukum Pengadilan Negeri ada advokat, atas dasar cakupan wilayah yang begitu luas dan tingkat pendidikan yang masih rendah, HIR dan R.Bg yang diperuntukkan bagi golongan warga pribumi tidak mewajibkan bagi para pihak yang bersengketa untuk beracara dengan memberikan kuasa kepada advokat. Berbeda dengan RV yang berlaku bagi golongan eropa dan timur asing diwajibkan untuk beracara dengan memberikan kuasa khusus kepada seorang advokat.
Tentu menjadi sebuah pertanyaan mengapa dalam pemberian kuasa kepada seorang advokat bentuk surat kuasanya bersifat khusus. Pemberian kuasa untuk beracara dipersidangan dengan kuasa khusus berkaitan dengan sifatnya yang khusus untuk menangani proses penyelesaian perkara baik yang bersifat sengketa maupun bersifat volunteer dipersidangan pengadilan dengan persyaratan kualifikasi keakhlian kusus bagi penerima kuasa, yang telah ditentukan secara limitative dan menangani perkara tertentu yang telah ditunjuk dalam surat kuasa;

2 . GUGATAN DAN JENIS-JENISNYA.
a. Gugatan Perdata biasa
Gugatan perdata biasa pada umumnya diajukan berkaitan dengan peristiwa hukum adanya pelanggaran hak akibat dari tidak dilaksanakannya prestasi yang timbul dari suatu perjanjian atau tidak dilaksanakannya suatu kewajiban oleh pihak lainnya, adanya tindakan yang bersipat melawan hukum mengakibatkan timbulnya kerugian, adanya budel harta warisan peninggalan sipewaris yang belum dibagi dan dikuasai salah seorang ahli waris sehingga merugikan ahli waris lainnya, gugatan kepemilikan benda bergerak dan tidak bergerak disertai dengan permintaan penyerahan dan pengosongan karena dikuasai oleh yang tidak berhak secara hukum.
Secara garis besarnya dalam praktik gugatan biasa yang diajukan kedepan persidangan pengadilan negeri dapat dibagi kedalam beberapa kategori yaitu :
-          Gugatan Wanprestasi.
-          Gugatan Perbuatan Melawan Hukum.
-          Gugatan Budel Waris Yang belum dibagi.
-          Gugatan Perceraian.
-          Gugatan Harta Gono-Gini.
b. Gugatan Claas Action/Perwkilan.
Gugatan Kelompok (Class Action) menurut PERMA No.1 Tahun 2002 didefinisikan sebagai suatu tatacara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan  kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Jadi gugatan Class Acction adalah suatu prosedur  beracara dalam proses perkara perdata biasa dan biasanya berkaitan dengan permintaan injunction atau ganti kerugian, yang memberikan hak procedural kepada satu atau beberapa orang untuk bertindak sebagai penggugat untuk memperjuangkan kepentingan para penggugat itu sendiri, dan sekaligus mewakili kepentingan ratusan,ribuan bahkan jutaan orang lainnya yang mengalami kesamaan penderitaan atau kerugian.
Orang yang tampil dalam gugatan perwakilan kelompok atau class action bisa lebih dari satu orang yang disebut sebagai wakil kelas (class refresentative), sedangkan sejumlah orang banyak yang diwakilinya disebut anggota kelas (class members), dua komponen ini merupakan pihak-pihak yang mengalami kerugian atau sama-sama menjadi korban.
Dasar hukum  yang mengatur gugatan Class Action terdapat dalam beberapa undang-undang yaitu :
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 37 Undang-Undang No.23 tahun 1997 mengatur hak masyarakat dan organisasi lingkungan  hidup untuk mengajukan gugatan perwakilan maupun gugatan kelompok ke Pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan peri kehidupan masyarakat.


Pasal 37 UUPL No.23 tahun 1997 :
1.    Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan peri kehidupan masyarakat.
2.    Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggungjawab dibidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
3.    Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 2 daitur dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Pasal 71 UU No.41 tahun 1999 :
Ayat 1 : Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwkilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Ayat 2  : Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak  sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Dalam pasal 46 ayat 1 ditegaskan  bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a)    Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b)    Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c)     Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya  organisasi  tersebut  adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d)    Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
c. Gugatan Legal Standing.
Gugatan Legal Standing adalah pemberian hak gugat kepada LSM tertentu oleh Undang-Undang sebagai pihak, untuk mewakili kepentingan tertentu diantaranya adalah :
Pasal 46 ayat 1 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, memberikan hak gugat(legal standing) kepada LPKSM yang berbentuk badan hukum atau yayasan yang  memenuhi syarat, didalam anggaran dasarnya disebutkan dengan tegas tujuan didirikannya untuk perlindungan konsumen dan telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Pasal 38 Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup ditentukan, dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab pengelolaan linkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan , organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan hanya terbatas pada tuntutan  untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. LSM Lingkungan Hidup yang berhak mengajukan gugatan harus memenuhi syarat berbentu badan hukum atau yayasan, dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut  untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup,telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d . Gugatan Citizen Law Suit
Gugatan citizen law suit atau gugatan warga Negara terhadap penyelenggara Negara tidak dikenal dalam system civil law yang diterapkan dan dianut di Indonesia. Citizen lawa suit lahir di Negara-negara yang menganut system hukum common law, dan pertama kali diterapkan berkaitan dengan hukum lingkungan, dalam perkembangannya lebih lanjut sudah sering diterapkan dalam berbagai bidang dimana Negara dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.
Citizen Law Suit pada intinya adalah mekanisme bagi warga Negara untuk menggugat tanggungjawab Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga gugatan citizen law suit diajukan pada lingkup kewenangan peradilan umum. Atas kelalaian tersebut petitum gugatan, Negara dihukum untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat mengatur umum(regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi dikemudian hari.
MENGAJUKAN GUGATAN
Dalam praktek prosedur dan proses pengajuan surat gugatan sesuai dengan  ketentuan pasal 118 HIR /142 R.Bg :
1.      Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut pasal 123HIR/147 R.Bg. Kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya tempat tergugat sebenarnya berdiam.
2.      Jika tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tidak tinggal didalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri,  maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal salah seorang tergugat menurut pilihan penggugat. Kalau antara para tergugat dalam hubungan satu dengan lainnya masing-masing sebagai pihak yang“berhutang”dan pihak yang “menanggung”maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal yang “berhutang”.
3.      (HIR) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui, begitu pula sebenarnya ia berdiam tidak diketahui atau kalau ia tidak dikenal, maka gugatan itu dajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat atau kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak , maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri  yang dalam daerah hukumnya terletak benda tidak bergerak itu.
3 .  (R.Bg) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui, begitu pula sebenarnya ia berdiam tidak diketahui atau kalau ia tidak dikenal, maka gugatan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
4 .  Apabila ada suatu tempat tinggal yang dipilih  dan ditentukan bersama dalam suatu akta, maka penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya  kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang telah dipilih itu.
5 .  (R.Bg) Dalam hal gugatan tentang benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya  terletak benda bergerak itu. Jika benda tidak bergerak itu terletak dalam beberapa daerah hukum Pengadilan Negeri, maka gugatan diajukan kepada Ketua salah satu Pengadilan Negeri, menurut pilihan penggugat.
3 .M E D I A S I.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses  perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Prosedur mediasi diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap perkara gugatan yang diajukan ke Pengadilan pada saat sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak penggugat dan tergugat untuk menempuh upaya damai melalui mediator.
Jangka waktu untuk menyelesaikan sengketa dengan mediasi melalui mediator selama 40 hari dan dapat diperpanjang selama 14 hari atas permintaan para pihak . Mediator dapat dipilih oleh para pihak dari daftar mediator yang telah bersertifikasi dan memilih tempat pertemuan diluar gedung Pengadilan Negeri sesuai kesepakatan atas biaya para pihak. Apabila tidak ada mediator bersertifikasi diluar Pengadilan Negeri, para pihak dapat memilih mediator di Pengadilan Negeri yang telah ditunjuk dan sesuai ketentuan PERMA No.1 Tahun 2008 dapat dipilih salah satu hakim anggota majelis sesuai kesepakatan para pihak.
Apabila tercapai kesepakan perdamaian maka kedua belah pihak dapat mengajukan rancangan draf perdamaian yang nantinya disetujui dan ditanda tangani keduabelah pihak untuk dibuatkan akta perdamaian yang mengikat keduabelah pihak untuk mematuhinya dan melaksanakannya. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secra tertulis perstujuan atas kesepakatan yang dicapai. Dan sengketa keduabelah pihak berakhir dengan perdamaian. Sebaliknya jika mediator tidak berhasil mencapai kesepakatan damai bagi kedua belah pihak,maka sidang dilanjutkan dengan membacakan gugatan,jawaban,replik duplik,pembuktian,kesimpulan dan putusan. Walaupun mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak , dalam proses pemeriksaan perkara selanjutnya Majelis Hakim tetap memberikan kesempatan para pihak untuk  menyelesaikan sengketanya secara damai sesuai ketentuan pasal 130 HIR.
Jenis perkara yang dimediasi adalah semua perkara gugatan wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator, terkecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga,pengadilan hubungan industrial,keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Para pihak atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding,kasasi,atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding,kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.
4 .SIDANG LANJUTAN DALAM HAL PERDAMAIAN TIDAK TERCAPAI DENGAN KEMUNGKINAN TERGUGAT TIDAK HADIR.
a) Sidang tanpa kehadiran tergugat
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan ternyata tergugat atau para tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah, tidak juga menunjuk seorang kuasa untuk hadir mewakilinya, maka sidang dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan tanpa kehadiran tergugat dengan terlebih dahulu menanyakan kepada penggugat apakah ada perubahan terhadap gugatannya atau tetap pada gugatan yang telah diajukannya tersebut.
b) Pembuatan akta bukti dan acara pembuktian
Karena tergugat tidak hadir dipersidangan meskipun telah dipanggil dengan patut dan sah maka tergugat dianggap tidak menggunakan hak-haknya untuk menjawab atau membantah semua dalil-dalil gugatan penggugat,otomatis proses penyelesaian perkara berjalan sepihak tidak ada jawab-jinawab, replik-duplik, dan langsung pada acara pembuktian berupa pengajuan bukti-bukti surat berupa foto copy dicocokkan dengan aslinya, dibubuhi meterai cukup diberi tanda sesuai jumlah surat bukti yang diajukan misalnya P1 s/d P10,selain bukti berupa surat dapat diajukan bukti saksi dan ahli sesuai kebutuhan untuk membuktikan posita gugatan penggugat.
c) Putusan Verstek
Pasal 125 HIR/149 R.Bg apabila pada hari persidang yang telah ditentukan, tergugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir(verstek), kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan Negeri bahwa gugatan tersebut melwan hak atau tidak beralasan.
Jika gugatan diterima ,maka atas perintah Ketua Pengadilan Negeri diberitahukan isi putusan itu kepada tergugat yang dikalahkan dan diterangkan kepadanya bahwa  tergugat berhak mengajukan perlawanan (verzet) dalam tempo 14 hari setelah menerima pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri,perlawanan masih diterima sampai pada hari ke 8 sesudah peneguran (anmaning) seperti yang tersebut dalam pasal 196 HIR/207 R.Bg atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari ke 14 (R.Bg) dan hari ke 8(HIR) sesudah dijalankan surat perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg/197 HiR. Jika telah dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya,maka perlwanan selanjutnya yang diajukan oleh tergugat tidak dapat diterima.
5 . PERSIDANGAN DENGAN DIHADIRI PARA PIHAK
Dengan tidak tercapainya perdamaian melalui mediasi, persidangan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dan tergugat ataupun turut tergugat mengajukan jawaban yang isinya dapat berupa :
Ø      Tuntutan Provisionil.
Ø      Eksepsi atau tangkisan.
Ø      Jawaban mengenai pokok perkara.
Ø      Gugatan rekonpensi
Ø      Permohonan petitum putusan.
Eksepsi atau tangkisan mengenai kompetensi kewenangan nisbi harus diajukan segera pada permulaan persidangan dan tidak akan diperhatikan kalau tergugat telah menjawab pokok perkaranya. Untuk eksepsi kompetensi kewenangan absolute dapat diajukan setiap saat dalam pemeriksaan perkara itu dan Pengadilan Negeri karena jabatannya harus pula menyatakan bahwa tidak berwenang mengadili perkara itu.
Setelah tergugat mengajukan jawabannya selanjutnya replik duplik, hakim akan meneliti secara seksama apabila diajukan eksepsi tentang kewenangan mengadili yang bersifat nisbi atau absolute, akan terlebih dahulu diputus dengan putusan sela sebelum memeriksa pokok perkaranya. Apabila eksepsi tersebut beralasan hukum dan Pengadilan Negeri menyatakan tidak berwenang mengadili maka pemeriksaan pokok perkaranya tidak dilanjutkan dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, sebaliknya jika eksepsi tidak beralasan hukum dan ditolak maka pemeriksaan pokok perkara dilanjutkan dengan pembuktian baik bukti saksi maupun bukti surat.
Seluruh proses jawab-jinawab,replik,duplik dan pembuktian selesai maka para pihak mengajukan kesimpulan dan akhirnya mohon putusan. Jika penggugat mampu membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya maka gugatan penggugat dikabulkan seluruhnya dan apabila terbukti sebagian, gugatan dikabulkan sebagian dan menolak gugatan selain dan selebihnya. Sebaliknya jika tergugat mampu mematahkan dalil-dalil gugatan penggugat maka gugatan dinyatakan ditolak seluruhnya, demikian pula apabila dalil-dalil gugatan kabur dan secara formil tidak memenuhi syarat maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.